Lagi-lagi Aku Menangis di Malam Takbiran.
Dengan lantunan takbir menyusuri malam yang seharusnya penuh rasa bahagia untuk menyambut hari esok, aku menangis. Untuk ibu dan ayahku lima tahun kebelakang, melihat putri remajanya menangis sudah menjadi hal yang harus dimaklumi. Sejak tangisan tantrum karena bingungnya mengendalikan keterpurukan hingga rasa menerima yang tetap dibumbui isak tangis di meja makan dengan para ketupat.
Cukup sulit untuk aku menerima nasib menstruasi di usia remaja, terutama saat bulan suci ramadan datang. Rasanya, ingin sekali aku kembali ke usia sebelum baligh hanya untuk bulan suci ini. Selain karena harus adanya hutang, salat ied yang selalu jadi kebanggaan harus aku sambut dengan menyendiri di rumah, menanti semua orang pulang. Ah, dramatisasi perihal ini tak akan kunjung tuntas untuk aku.
Hari ini aku menangis, lagi. Perisai penerimaan dengan lapang dada yang sudah aku bangun selama pertengahan ramadan gugur. Padahal aku sudah menduga dan mendoktrin pikiran serta hatiku dengan alibi “Mungkin, jika tahun ini tidak bisa salat ied lagi bisa menjauhkan kamu dari zina mata melihat jamaah pria,” sebuah alasan klasik untuk menentang kekecewaanku lagi dan lagi. Akan tetapi perisai itu gagal, kupikir tahun ini aku tidak akan menangis dengan iringan takbir, salah.
Tapi, ada yang berbeda dari tangisan tahun ini. Kali ini aku menyadari bahwa waktu telah berlalu dengan sangat cepat. Terlalu cepat, untukku.
Sekitar lima tahun yang lalu, aku menangis tak terkendali untuk permasalahan yang sama. Kusadari, saat itu adalah tahun pertama aku menyambut ramadan tanpa ibu dan menerima kenyataan keretakkan rumah tangga ayah dan ibuku yang harus aku dan adik-adikku hadapi. Sedih, tujuh kali lipat. Padahal, di tahun-tahun sebelumnya aku selalu menanti hari raya ini karena akan menjadi perjalanan paling panjang dan penuh kunjungan, dan aku bahagia untuk kebersamaan keluargaku di sepanjang jalan. Hingga kini, itu hanyalah kenangan.
Aku masih ingat saat aku makan kue nastar di teras rumah bersama ayahku, hanya percakapan mengapa idulfitri harus dipastikan kita makan atau minum terlebih dahulu sebelum salat ied. Pekarangan rumah yang sepi, hanya keluargaku yang tidak pergi mudik. Baju-baju baru dan pagi hari paling sibuk untuk ibu. Duh, aku tak akan pernah bosan mendramatisasi semua kenangan ini. Aku akan berhenti menceritakannya di sini, haha!
Lalu, berlanjut di saat hak asuh ditetapkan, aku serta adik-adikku hingga kini satu atap dengan ibu. Itu perjalanan yang cukup panjang. Kalau diingat-ingat, ternyata sudah banyak hari yang aku lewati. Perkembangan yang perlahan untuk menerima takdir dan nasib yang sangat melelahkan. Kalau kata guru les bahasa inggris-ku yang sangat mahir meramal sifat seseorang, “Kamu ada menangis selama enam bulan terakhir?” lalu berlanjut ramalan yang menohok hatiku. Aku menjawab pertanyaan itu selalu dengan anggukan, apalagi yang selalu ampuh membuatku menangis selain menyadari banyak sekali tragedi suka dan duka yang aku lewati.
Kembali pada malam penuh lantunan takbir, beberapa tahun kebelakang aku tanpa sengaja menjadikan evaluasi diri dan segala perjalanan hidup di malam ini. Menangis selain karena tak bisa salat ied, lalu menangis bangga sekaligus prihatin untuk beberapa kenangan yang tak kusangka-sangka telah menerpa hidupku.
Ada banyak cara dalam penerimaan yang sudah aku lakukan. Menulis cerpen salah satunya. Baik nyata atau tidak, semua romantisme perasaanku pernah rutin tertuang dalam imajinasi di cerita pendek. Mungkin, jika ibu, ayah, atau beberapa saudara juga temanku yang mengetahui semua tragedi dalam hidupku membaca beberapa cerpen karanganku akan membuat mereka menyadari bahwa aku terlampau terang-terangan bercerita di sana.
Namun, sungguh, tanpa adanya tulisan itu, penerimaan tidak akan pernah aku rasakan. Kegelisahan setiap ingin tidur tidak akan kunjung tamat. Hal paling penting lagi, mimpi buruk penuh igauan akan selalu menjadi makan malam orang-orang yang tidur bersamaku.
Sejujurnya, sejak aku kecil, aku tak pernah membayangkan bahwa aku akan tumbuh menjadi seseorang yang mengingat perjalanan hidup dengan rasa syukur yang berlimpah. Aku yang kanak-kanak membayangkan aku yang dewasa hidup dengan kepikunan, tidak menghargai waktu, dan hidup tanpa memedulikan sekitarnya. Nyatanya, kesadaran itu melekat terlalu jelas untuk diriku sendiri.
Dari penerimaan yang selalu saja Tuhan berikan dalam setiap perjalananku, aku dewasa. Kerap kali kepekaan saat menyadari pesan semesta cepat aku dapati. Mungkin, orang-orang akan menyebut aku tua sebelum waktunya, kubiarkan itu. Kedewasaan tidak datang hanya karena sebuah usia. Hal yang terpenting adalah keduluan tua-ku ini bukan dalam hal pergaulan, ups.
Kurasa emosiku malam ini membaik. Dan aku berhenti menangis, mulai menenangkan semua kesedihan, kekecewaan, serta kerinduan yang menggebu-gebu. Bagaimanapun hidup harus tetap berjalan, kan? Lalu, kurasa juga tulisan spontan ini kurang runtut paragraf ke paragrafnya, maafkan. Semoga dari tulisan mendadak ini membawa keberkahan untuk yang membaca maupun untuk diriku sendiri. Selamat hari raya idulfitri!
Jangan lupa baca buku hari ini, Bestie!