Yang Tidak Diajari untuk Masa SMA

3 tahun yang kukira akan menewaskanku, tuntas. Dan aku tidak tewas.

Raenata Sachi
4 min readMar 23, 2023
Childhood Idyll by William-Adolphe Bouguereau

Dulu, saat aku menyadari keinginanku menjadi siswa SMA jurusan Bahasa telah gagal dan tangisku pecah di mobil tepat azan magrib berkumandang. Mataku menatap kecewa ke mata ibuku yang sudah pasrah dengan layar ponsel dengan tampilan pengumuman PPDB. Kecewaku semakin bulat karena imajinasi terbebas dari rumus dan segala ramuan laboratorium juga gagal total. Aku masuk ke dalam lingkungan yang lagi-lagi selalu jadi alasan tangisku pecah. “Aku ga bisa hafal semua rumus ini!

Tapi, siapa sangka? Aku menyelesaikan misi tanpa rencana dengan selamat sentosa. Tiga tahun yang aku kira menjadi akhir hayatku, bukanlah akhir hayat yang sesungguhnya. Banyak hal yang sudah aku lalui menjadi murid SMA. Masa jaya dan penuh kenangan, kalau kata orang-orang tua di luar sana. Untukku, tidak. Kejayaan untuk bebas mungkin iya, untuk kenangan adalah tidak.

Acapkali aku membatin, bahwa tidak ada yang perlu ditangisi dari perpisahaan ini, tidak ada yang perlu disayangkan dari kelulusan ini, dan tidak ada yang perlu dirindukan dari seragam ini. Hal ini buka karena aku tidak menghargai kehadiranku di masa-masa SMA. Namun, ini karena terlalu banyak perjuangan, pengorbanan, dan serangan yang semuanya selalu datang tiba-tiba. Lalu, tidak ada satu orang pun yang memberitahuku sebuah rencana perang menjadi siswa SMA.

Sendiri adalah keharusan

Sendiri bukan lagi pilihan. Di masa ini, kamu tidak lagi memilih ingin sendiri atau bersama satu atau dua orang teman. Semua aktivitas harus dilakukan sendiri. Menjadi sendiri dengan berpegang teguh pada diri dan tidak bergantung dengan teman. Lakukan semua sendiri, termasuk mencuri start dalam segala hal.

Saat dulu, mungkin kamu perlu menunggu ada yang mendahuluimu ketika mengumpulkan tugas, mengerjakan PR, atau membuat rangkuman. Lalu, kamu baru akan melakukannya.

Namun, kini semua orang diam dan tak memberi tahu apa yang sedang mereka lakukan. Hal itu akan membuat terlena pada kemalasan dan berujung melihat teman-teman sudah selesai dengan yang dikerjakan. Mereka sudah finish dan kamu belum menyentuh start.

Awalnya, semua ini terasa seperti kecurangan dan pengkhianatan. Kamu mungkin akan merasa telah ditipu bahkan sedih akan hal itu. Tapi, bukan itu solusinya. Tidak ada yang peduli dengan perasaan teman (rival) sendiri, tidak ada yang peduli alasanmu apapun itu.

Solusinya adalah mulai tanpa melirik pencapaian orang lain. Mulai tanpa membandingkan hasil akhir dirimu dengan temanmu. Mulai tanpa memedulikan kekurangan dan keunggulan temanmu. Mulai dengan memaksimalkan semua kelebihan dan minatmu. Karena di saat ini, semua orang hanya fokus pada dirinya sendiri.

Jangan percaya dan jangan ikut-ikutan

Di masa SMA ini, akan banyak dusta bertebaran. Lebih dari kebohongan saat temanmu mengatakan ia tidak belajar untuk persiapan ulangan namun mendapat nilai sempurna. Lebih dari itu.

Ada dua tipe yang aku sering temui. Teman yang akan berlagak menguasai semua bidang dan yang berlagak tidak menguasai semua bidang. Semua itu kebohongan agar orang lain tidak melihat apa kelebihan dan kekurangannya. Juga agar kekurangannya tidak terbalap oleh teman yang sebenarnya mampu lebih unggul. Serta supaya kelebihannya bisa terus dipertahankan dan kelebihannya itu tidak dipergunakan oleh teman lainnya, alias tidak menjadi guru untuk satu bidang.

Lalu apa yang harus dilakukan? Jangan ikut-ikutan berlagak paling pintar atau tidak sekalipun. Cukup akui kehadiran dirimu tanpa menceritakan kemampuanmu menulis, menghafal, memahami bahasa asing, dan lain-lain. Jangan terlena oleh pujian dari mereka. Melainkan, tunjukkan kemampuanmu pada ajang perlombaan di luar sana.

Jangan percaya untuk semua cerita mereka. Angguk dan terima saja pernyataan atas dirinya sendiri. Lalu berhenti menjadikan ceritanya sebagai patokan kepribadian dia yang sesungguhnya. Jangan sampai tertipu oleh kata-katanya.

Karena sebenarnya, tidak ada orang yang menguasai semua bidang dengan sempurna dan tidak ada orang yang nyaman untuk dipandang atas kekurangannya.

Jika tidak ingin berteman, berhenti bersikap ramah

Berpapasan dengan teman dari kelas lain mungkin acapkali terjadi di lingkungan sekolah. Entah teman dari semasa SMP, teman di rumah sebelahmu, hingga orang yang tak kamu kenal namun ia mengenalmu. Tentu kegiatan sapa-menyapa adalah hal umum yang terjadi untuk kondisi ini. Tapi, bagaimana jika kamu tidak memiliki keinginan untuk berteman lebih dengan orang-orang itu?

Maka berhentilah menyapanya. Berhentilah bersikap ramah padanya. Cukup membalas sapaan jika ia yang menyapamu. Cukup menggubrisnya jika ia memang menghampirimu dan meminta bantuan. Berteman secukupnya.

Kamu cukup menjadi seseorang yang beretika. Tidak ramah bukan berarti bisa memakinya sebebasmu, tidak menyapa bukan berarti bisa kamu tatap dengan sinis. Karena tidak ada yang pernah tahu kemana pertemanan selanjutnya akan dibawa.

Semua ini mungkin merujuk pada pertemanan. Begitulah, kehidupan di masa SMA adalah sebuah pertemanan yang amat berbeda dari sebelumnya. Tidak selamanya pertemanan penuh akan kelicikan, pengkhianatan, dan ketidaksetiaan. Beberapa dari pertemananku di SMA cukup berkesan hingga di hari terakhir sekolah.

Semua tergantung bagaimana perbatasan antara kamu dan temanmu dibuat. Bagaimana kedua pihak ini tidak melampaui batas. Karena tak memungkinkan pula jika kejujuran, ketulusan, dan rasa sayang pada pertemanan bisa membuahi pedang yang menusuk diri sendiri.

Di sini semua orang berjuang. Ada ragam cara yang bisa dihalalkan untuk mencapai tujuan akhir dari jenjang SMA, yaitu kuliah. Jangan kaget untuk segala cara yang seketika terbuka atau dilakukan temanmu. Keep on track.

Semua tulisan ini berdasarkan pengalaman pribadiku. Mungkin tidak semua orang merasakan ini di masa SMA-nya, dan jika memang begitu maka kamu beruntung. Semoga masa SMA-mu jauh lebih berkesan dan berhak dijadikan kenangan!

Jangan lupa baca buku hari ini, Bestie!

--

--

Raenata Sachi
Raenata Sachi

Written by Raenata Sachi

Biasa bergelut dengan cerita dan puisi, kini sedang belajar menghadapi kenyataan dalam menulis.

No responses yet